Minggu, 15 Februari 2015

Malam Terang di Jakabaring

Pangeran Siahaan - detiksport
CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Jakarta - Seandainya bapak saya tidak mengisahkan kejayaan PSMS waktu kecil, saya sudah membaptis diri sendiri menjadi fan Persib Bandung semalam. Anda tahu bahwa Anda sejak menyaksikan sesuatu yang luar biasa di lapangan sepak bola ketika yang tidak ada yang Anda rasakan selain berharap kosong bahwa tim yang sedang mendapatkan dukungan militan dari puluhan ribu suporternya yang menyeberang pulau itu adalah tim Anda.


Kecintaan kepada klub sepakbola adalah sesuatu yang tribal dan tak bisa ditawarkan. Konsensus umum mengatakan bahwa Anda tidak memilih klub Anda, tapi tetapi klub tersebut memilih Anda. Tidak semua orang menerima konsep takdir, tapi sulit untuk membantah anggapan bahwa ada tangan tak terlihat yang sudah memilihkan klub untuk anda sebelum Anda lahir. Tapi pada hari-hari tertentu, Anda bisa dimaafkan jika kesetiaan anda kepada klub yang dipilihkan untuk Anda sedikit terguncang. Anda tahu bahwa Anda tak akan pernah berpaling, tapi akan ada hari di mana mustahil untuk tidak memberi sedikit ruang dalam hati bagi pencapaian istimewa.

Bagi saya hari itu adalah kemarin.

Orang yang paling tidak berperasaan sekalipun akan berdiri bulu kuduknya mendengar bagaimana sebelum kick offpertandingan, tribun timur Stadion Jakabaring yang dipenuhi puluhan ribu bobotoh memproklamirkan kepada langit bahwa Persib adalah jiwa raga mereka.

Langit mendengar dan di akhir pertandingan Persib juara.

***

Sembilan belas tahun adalah waktu yang lama. Waktu Persib bertemu Petrokimia Putra di final Liga Indonesia pertama tahun 1995, itu adalah pertama kalinya saya menonton sepak bola Indonesia di TV. Itu pun bukan karena direncanakan. Saat itu saya bahkan belum genap 8 tahun dan rumah kami sedang direnovasi sehingga ada bedeng sementara di depan rumah untuk menampung para tukang bangunan.

Jelang malam, para tukang bangunan tersebut meminta izin untuk bertemu dengan ibu. Ada kecemasan tergurat di wajah mereka. Dugaan pertama adalah mereka ingin meminjam uang atau ingin pulang lebih cepat ke kampung. Rupanya bukan lembaran rupiah yang mereka inginkan. Para tukang ini berasal dari Garut dan mereka bilang hari ini Persib main. Mereka minta agar diizinkan untuk memakai TV di ruang keluarga. Izin pun diberikan dan malam itu rumah kami riuh rendah ketika Sutiono mencetak gol kemenangan.

Baru dalam beberapa tahun belakangan saya sadar betapa tidak lazimnya peristiwa tersebut. Mengizinkan orang asing untuk masuk ke ruang keluarga dan menonton TV bersama bukanlah sesuatu yang sering dilakukan, apalagi jika orang asing tersebut adalah para pekerja pembangun rumah. Belum lagi soal ibu yang bukan penggemar sepak bola dan tak akan pernah mengerti apa itu offside.

Tapi saya teringat bahwa ibu lahir dan besar di Bandung sehingga ia cukup mengerti bagaimana bangganya warga kota tersebut terhadap klub sepakbola mereka. Ia tinggal cukup lama di Bandung untuk paham bagaimana kegelisahan para pekerja rumah kami jika mereka gagal menonton Persib hari itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar